Sabtu, 16 Juni 2012 |
1 komentar
Artikel Islamiah
Hukum
Bersalaman dengan Lawan Jenis
Hukum
bersentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu termasuk
berjabatan tangan hukumnya haram. Paling tidak itulah yang sering kita dengar
dan itulah yang sekarang ini cukup populer di kalangan ummat Islam dan juga di
kalangan aktifis dakwah. Sehingga pemahaman seperti itulah yang selama ini
dipegang dan dianggap satu-satunya hukum yang bersifat mutlak, jelas dan tidak
ada dalil lainnya yang berbeda atau berlawanan. Sehingga umumnya mereka yang
paham dan menjalankan syariah tidak akan mau berjabatan tangan dengan wanita
yang bukan mahramnya. Mereka sebisa mungkin menghindari sentuhan kulit dengan
wanita. Bahkan dalam banyak kesempatan, dengan cara yang halus mereka menolak
ajakan untuk menjabat tangan wanita. Sehingga ketika ada seorang aktifis yang
kelihatan bersalaman dengan wanita non mahramnya, akan menimbulkan pertanyaan
kritis dan perasaan aneh di kalangan pendukungnya.
Tapi
sebagai sebuah kajian dialogis dari sisi syariah dan fiqih muqaranah
(perbandingan), tidak ada salahnya bila kita meneliti tentang sejauhmana
kekuatan dalil pengharamannya ? Dan lebih jauh,
apakah keharaman sentuhan kulit itu berlaku mutlak atau ada juga dalil shahih
lain yang membolehkan ? Bagaimana kajian fiqih
yang kritis dalam masalah ini ? Lalu apa
pandangan dan pendapat para ulama salafus-shalih tentang masalah ini ?
Adakah riwayat dari Rasulullah SAW tentang sentuhan kulit non mahram ini
?
Benarkah Rasulullah SAW pernah menyentuh kulit wanita non mahram ?
Mari
kita kupas masalah ini dengan mengutip dalil hadits dan kajian-kajian fiqih
para ulama:
Yang mengharamkan secara Mutlak
!
Para
ulama Jumhur termasuk keempat imam mazhab umumnya mengatakan bahwa sentuhan
kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram hukumnya haram. Mereka
mendasarkan pendapatnya itu pada banyak dalil yang erserak disana sini. Baik
yang bersifat naqli atau pun yang aqli. Diantaranya yang sering dikemukakan
antara lain adalah dalil-dalil berikut ini :
Menutup Pintu Fitnah (saddudz-dzari’ah)
Dalil yang terkuat dalam pengharaman
sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram adalah menutup
pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu
lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak
tanda-tandanya.
Hadits Rasulullah SAW
Lebih Baik Ditusuk Jarum Besi Dari Pada
Menyentuh Wanita “Dari Ma’qil bin Yasar
dari Nabi SAW, beliau bersabda: Sesungguhnya ditusuknya kepala
salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia
menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”(HR.
Thabrani dan Baihaqi)
Rasulullah SAW tidak menjabat
tangan perempuan ketika bai’at
Dari asy-Sya’bi bahwa Nabi saw. ketika
membai’at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu
beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, “Aku tidak berjabat
dengan wanita.” (HR Abu Daud dalam al-Marasil). Aisyah berkata, “Maka barang
siapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut,
Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Aku telah membai’atmu – dengan perkataan
saja – dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita
dalam bai’at itu; beliau tidak membai’at mereka melainkan dengan mengucapkan,
‘Aku telah membai’atmu tentang hal itu.’
Yang Membolehkan !
Namun bila kita cermati, ternyata tidak
semua ulama sepakat mengharamkan hal itu. Ada juga beberapa hujjah yang
terkadang muncul untuk tidak memutlakkan keharaman sentuhan kulit antara
laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Misalnya bila wanitanya adalah orang
yang lanjut usia, tua atau sudah uzur.
Di luar itu, meski umumnya dalil-dalil
yang kita kenal umumnya mengaharamkan, namun kita harus jujur bahwa ternyata
ada juga hujjah yang bisa dikemukakan untuk membolehkan hal itu. Sehingga meski
bukan pendapat yang populer, paling tidak perlu kita pahami adanya wacana lain
yang -sebenarnya- juga tetap berdasarkan nash-nash yang sharih dan shahih.
Hanya saja pendapat ini kurang populer di kalangan ulama Islam.
Diantaranya dalil-dalil yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapat ini adalah :
Hadits
Ummu Athiyyah Tentang Rasulullah SAW Menjabat Tangan Wanita Ketika Bai’at
“Dari Ismail
bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah bai’at, Ummu Athiyah
berkata: Lalu Rasulullah saw.
mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari
dalam rumah, kemudian beliau berucap, ‘Ya Allah, saksikanlah.’”(Ibnu Hibban,
al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih).
Hadits bahwa Budak Wanita Memegang Tangan Rasulullah SAW
“Dari Anas bin
Malik r.a., ia berkata: “Sesungguhnya
seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan
Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya pada “Kitab al-Adab”) Dalam
riwayat lainnya juga ada hadits senada yaitu :
“Dari Anas
juga, ia berkata:”Sesungguhnya
seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia
memegang tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau
dari tangannya sehingga dia membawanya pergi ke mana ia suka.” (HR. Imam Ahmad) Ibnu Majah juga meriwayatkan hal
demikian.
Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih
dari Rasulullah SAW, niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa
semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai
syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan
pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi
saw. itu adalah tasyri’ dan untuk diteladani.
Hadits
Bahwa Rasulullah SAW Tidur Di Pangkuan Ummu Haram
Dari Anas bahwa Nabi saw. masuk ke rumah Ummu Haram
binti Milhan dan beliau diberi makan. Ummu Haram adalah istri Ubadah bin Shamit, dan Ummu Haram membersihkan
kepala beliau (dari kutu) lalu Rasulullah SAW tertidur …” (HR Bukhari dalam
Kitabul jihad Was-Sair bab Ad-du’au biljihadi Wasysyahadatu lirrijali wannisa’
no. 2580 dan Kitabul Isithsan no. 5810).
Dari Anas dari bibinya Ummu Haram binti Milhan, Ummu
Haram berkata,”Rasulullah SAW tidur di dekat aku lalu bangun dan tersenyum …(HR
Bukhari dalam Kitab Al-Jihadu Wassair bab Fadhlu Man Yusri’u Fi sabilillah… no.
2590).
Oleh Ibnu Abdil Barr, hadits ini dikomentari bahwa
Ummu Haram itu saudara sesusuan Rasulullah SAW. Dia juga meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW itu ma`shum dan tidak punya syahwat sehingga boleh bersentuhan
dengan non mahram. Sehingga hal itu merupakan kekhususan pada diri Rasulullah
SAW saja.
Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi ‘Iyadh dengan argumentasi bahwa kekhususan itu tidak
dapat ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya kemaksuman
beliau memang dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada kekhususan dan
boleh meneladani beliau dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang
menunjukkan kekhususannya.
Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang
lebih keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama, yaitu
anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi saw. dengan Ummu Haram.
Beliau berkata: “Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang
bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi,
orang-orang yang menyusukan beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang
berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr
bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan
Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin
Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali
pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi
(yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi,
seperti perkataan Nabi saw. terhadap Sa’ad bin Abi Waqash, “Ini pamanku” karena
Sa’ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa’ad bukan
saudara Aminah, baik nasab maupun susuan.”
Hadits Rasulullah SAW yang masuk ke tempat Ummu Sulaim
Diceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah
masuk ke tempat wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu Sulaim.
Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, “Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam
peperangan bersama saya.’ Yakni Haram bin Milhan, yang terbunuh pada waktu
peperangan Bi’r Ma’unah.” (Lihat kitab Shahih Bukhari).
Makna “Menyentuh” Bukan Sekedar Bersentuhan !
Kalimat “menyentuh kulit wanita yang
tidak halal baginya” itu tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan
kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan.
Bahkan kata-kata al-mass (massa – yamassu – mass: menyentuh) cukup digunakan
dalam nash-nash syar’iyah seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan salah satu
dari dua pengertian, yaitu:
Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan
biologis (jima’) sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman
Allah: “Laamastum an-Nisat” (Kamu menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, “Lafal
al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur’an dipakai sebagai kiasan
untuk jima” (hubungan seksual).
Secara umum, ayat-ayat Al-Qur’an yang
menggunakan kata “al-mass” menunjukkan arti jima` bukan sekedar bersentuhan
kulit saja. Seperti firman Allah yang diucapkan Maryam: “Betapa mungkin aku
akan mempunyai anak padahal aku belum pemah disentuh oleh seorang laki-laki pun
…” (Ali Imran: 47) “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh
mereka…” (al-Baqarah: 237).
Para ulama salaf juga tidak memandang
bahwa “al-mass” itu sebagai sentuhan kulit belaka, tapi dengan syahwat. Seperti
mazhab Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang
membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Begitu juga dengan
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang
menafsirkan lafal “mulaamasah” atau “al-lams” dalam ayat tersebut dengan
semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.
Sedangkan Ibnu Abbas dan segolongan
sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “al-mass” itu adalah jima’.
Bangsa Arab juga mengatakan, yang dimaksud dengan “al-mass” adalah jima’.
Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata: yang
dimaksud ialah tindakan di bawah jima’ (pra-hubungan biologis). Lalu mereka
meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab
dan menyalahkan Mawali.
Sanggahan Dari Kelompok Pertama (Yang Mengharamkan) Atas
Dalil Dari Kelompok Kedua (Yang Membolehkan):
Al-Hafizh
Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari mengomentari hadits yang digunakan
kelompok kedua yang bunyinya sbb : “Sesungguhnya seorang budak wanita diantara
budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya
pergi ke mana ia suka.” Bahwa yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah
kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini meliputi
bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu’, karena disebutkannya perempuan bukan
laki-laki, dan disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata
umum dengan lafal al-imaa’ (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang
mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa’at (kemana saja ia suka), yakni ke
tempat mana saja. Dan ungkapan dengan “mengambil/memegang tangannya” itu
menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan
itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk
membantu memenuhi keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya. Ini
merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu’nya Rasulullah saw. dan betapa
bersihnya beliau dari sikap sombong.” Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini
mengatakan bahwa hadits tentang Rasulullah SAW tidur siang hari di rumah bibi
Anas yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, dan beliau
tidur di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu
Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu …”. Bahwa hadits ini
memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan
memenuhi persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan
bolehnya wanita asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan,
menyediakan keperluannya, dan sebagainya.
Hadits
ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya dengan membersihkan kutu
kepalanya. Bahkan Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa Ummu Haram itu adalah
saudara sesusuan Rasulullah SAW, “Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui
Rasulullah saw. (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga
masing-masing berkedudukan “sebagai ibu susuan” atau bibi susuan bagi
Rasulullah saw.. Karena itu, beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap
Rasulullah apa yang layak dilakukan oleh mahram.” Selanjutnya Ibnu Abdil Barr
membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai
hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu
Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najjar …
Yang
lain lagi berkata, “Nabi saw. itu maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).
Beliau mampu mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi
terhadap wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya?
Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor, dan
ini termasuk kekhususan beliau.”
Sanggahan
atas maksud hadits yang menjadi dalil kelompok kedua yaitu “Dari Anas bin Malik r.a., ia berkata: “Sesungguhnya seorang budak
wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw.,
lalu membawanya pergi ke mana ia suka.” (HR. Bukhari dalam
Shahih-nya pada “Kitab al-Adab”)
Ibnu
Hajar mengatakan bahwa maksud hadits itu bahwa (budak-budak penduduk Madinah
memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka ) itu
semata-mata menunjukkan bahwa Rasulullah SAW itu orang yang tawadhdhu`, kasih
sayang dan ketundukan.
Namun
meski apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar dapat
diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang tangan dari makna
lahiriahnya kepada kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak
dapat diterima, karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang
dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus diartikan
menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau indikasi tertentu yang
memalingkannya dari makna lahir. Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai
faktor yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat
Imam Ahmad yang menyebutkan “maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari
tangannya sehingga ia membawa beliau pergi kemana saja ia suka” menunjukkan
dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk
memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir
ini.
Sanggahan Dari Kelompok Kedua atas dalil kelompok pertama
1.
Bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat
tangan dengan kaum wanita pada waktu bai’at itu belum disepakati, karena
menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat
tangan dengan wanita pada waktu bai’at.
2.
Ada ketetapan bahwa apabila Nabi saw.
meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan – secara pasti – akan
keharamannya. Adakalanya beliau meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya
karena makruh, adakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya
semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti beliau tidak
memakan daging biawak padahal daging itu mubah. Kalau begitu, sikap Nabi saw.
tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk
menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi orang yang
berpendapat demikian.
3.
Bahwa imam-imam ahli hadits tidak
menyatakan secara jelas akan kesahihan hadits Aisyah yang mengatakan bahwa
Rasulullah SAW tidak menjabat tangan wanita saat bai’at. Hanya dikatakan bahwa “perawi-perawinya adalah
perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi sahih”. Perkataan seperti ini saja
tidak cukup untuk menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada
kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha’) atau terdapat ‘illat
(cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun
dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun
fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat
tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya. Fuqaha Hanafiyah dan
sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat
ditetapkan kecuali dengan dalil qath’i yang tidak ada kesamaran padanya,
seperti Al-Qur’anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun
jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu
tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang
sahih. Maka bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan kesahihannya?
4.
Dalil yang terkuat dalam pengharaman sentuhan kulit antara laki-laki dan
wanita yang bukan mahram adalah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), Tetapi
dalam kondisi aman – dan ini sering terjadi – maka dimanakah letak keharamannya?
Pendapat
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fatawa Mu’ashirah :
“…Setelah memperhatikan riwayat-riwayat
tersebut, maka yang mantap dalam hati saya (AL-qaradawi) adalah bahwa
semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang
menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi saw. dengan
Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka
tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan,
seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki
berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti
anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari
pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu
setelah lama tidak berjumpa.
Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu ditekankan:
Pertama,
Bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan
apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila
dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan
taladzdzudz (berlezat-lezat) maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan
lagi. Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi – yaitu tiadanya
syahwat dan aman dari fitnah – meskipun jabatan tangan itu antara seseorang
dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya,
mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.
Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika
kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, Hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. – tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat). Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah – yang komitmen pada agamanya – ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Sepenggal
Kata !
Ada salah satu hadist Rosululloh
yang intinya bahwa Di dalam tubuh manusia ada seonggok daging, apabila daging
itu baik maka baiklah semuanya, tetapi jika buruk maka buruklah semuanya. Dan
seonggok daging itu adalah hati. Jadi ketika kita ingin membentuk karakter
pastilah tidak lepas dari hati.
Menurut Prof.Dr.H.M. Quraish
Shihab: Himpunan
pengalaman, pendidikan, dan lain-lain menumbuhkan kemampuan di dalam diri kita,
sebagai alat ukir paling dalam hati manusia yang mewujudkan baik pemikiran,
sikap, dan perilaku termasuk akhlak mulia dan budi pekerti. Jelas sekali bagi
kita bahwa karakter dan kecerdasan hati adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Ketika kita ingin memberikan pendidikan karakter maka harus dengan
hati.
Kecerdasan Otak dan
Kecerdasan Hati
Kecerdasan otak mungkin lebih mudah dipahami jika dihubungkan
dengan pikiran manusia. Ilmu pengetahuan, teknologi, sains merupakan ilmu yang dicerna
manusia melalui pikiran dan berhubungan dengan kerja otak.
Sedangkan kecerdasan hati
berhubungan dengan perasaan, dan karakter seseorang. Bagaimana kemampuan
seseorang mengelola perasaannya akan mempengaruhi karakternya. Inilah yang
dimaksud dengan kecerdasan hati. Jika seseorang mampu mengelola perasaannya
menuju kebaikan artinya ia telah memiliki hati yang cerdas dan mampu membentuk
karakter yang baik pula.
*************
1 komentar:
sangat bagus, trims atas informasinya
Posting Komentar