Sabtu, 16 Juni 2012 |
0
komentar
Kisah Cinta
Di angkat dari kisah nyata....
Chang, ketika dirimu membaca kumpulan kata ini, ketahuilah, bahwa aku tidak pernah berharap untuk bisa menulisnya untukmu, sangat tidak berharap. Dan satu hal lagi, saat kau baca surat ini, mungkin aku telah berada di atas sebuah kapal yang entah akan membawaku kemana, akupun tak tahu.
Gong Xi Fat cai, itu
adalah kalimat yang ingin kusampaikan padamu sebelum lebih lanjut kutuliskan
kata-kata ini.
Chang sayangku, masih
ingatkah dirimu, saat pertama aku mengenalmu, saat berharga yang tak pernah
kulupa, aku selalu dan selalu tertawa saat mengingat semua itu, bagaimana
tidak, bila untuk pertama kalinya aku merasan ditabrak oleh becak karena
menatap wajahmu, wajah anggun yang dihiasi oleh mata sipitmu (hehehehe).
Dan waktu kemudian
berlalu, dalam pertemanan, persahabatan dan kemudian kita saling menyadari
bahwa kita saling mencintai, saling menyayangi. Namun sayang chang, waktu dan
keadaan tidak berpihak pada kita berdua. Benar Chang, karena kita tidak
pernah direstui oleh ayah dan ibumu, karena aku pribumi, ya … aku pribumi.
Salahkah aku bila aku yang pribumi mencintaimu? Menyayangimu? Apakah aku ingin terlahir sebagai warga pribumi? Indonesia? Tidak chang, aku tidak
pernah menginginkannya. Saat ini sungguh yang kuinginkan adalah menjadi warga
Tiong Hoa, agar dapat menjadikanmu bidadari dalam hidup nyata yang sangat
singkat ini, beragama yang sama denganmu, agar dapat memilikimu seutuhnya, ya
chang … seutuhnya.
Chang bidadariku,
perjalanan ini akan terasa sangat panjang, bahkan sangat panjang, perjalanan
bukan karena karena keputus asaanku akan semua yang telah terjadi di antara
kita, namun merupakan perjalanan panjang untuk tahu dan mengetahui, apa yang
telah terjadi dalam hidupku.
Perjalanan yang bukan untuk melupakanmu, karena itu sangat mustahil untuk kulakukan, aku sadar, sangat sadar, bahwa tak mungkin aku melupakanmu, tak mungkin aku menggantikanmu dalam hidup ini, aku akan tetap sendiri dan sendiri sepanjang hayatku. Perjalanan ini untukmu, untuk cinta yang tak pernah bisa kumiliki, karena aku warga pribumi, karena aku beragama yang berbeda denganmu. Namun ketahuilah bidadariku, kau akan tetap menjadi bidadariku, hingga kapanpun.
Masih terngiang di kepala penatku chang, saat ayah, ibu dan kakakmu, mendatangi rumah kami, gubuk kami, memaki kami dengan seribu sumpah serapah, tentang kami yang miskin, tentang kami yang tak berpendidikan, tentang keyakinan kami, tentang aku yang tak pantas untuk mencintaimu. Aku tahu sayangku, semua yang dikatakannya adalah sebuah kebenaran tentang aku, ibu dan adikku, karena ayahku tidak bisa mewariskan apapun, karena memang tidak ada yang dapat diwariskan kepada kami di saat hembusan nafas terakhirnya di muka bumi ini, namun bagiku, ia adalah ayah yang sempurna, bukan karena dapat mewariskan kekayaan yang melimpah, namun ia mewariskan satu hal yang begitu menjadi kebanggaanku, yaitu perasaan cinta dan kasih sayang. Terwariskan kepada kami, mencinta tanpa syarat, iya chang, aku mencintaimu tanpa syarat, tanpa akhir.
Chang, masih adakah semua goresan yang kutulis untukmu, setiap kata yang kugores pena untuk menyebutmu dalam setiap bait puisi yang kutulis untukmu, semua bercerita tentangmu chang, tentang kerinduan dan kecintaan atasmu, dan berikut ini adalah puisi yang kutulis beberapa malam yang lalu, ketika kuputuskan untuk meninggalkan tanah kelahiranku, ketika ibuku memberikan restu untuk kepergianku, bacalah chang, ingatlah aku ketika kau baca puisi ini;
TENTANG PUISI YANG INGIN SEMPURNA
pada kata yang tak terucap
melangkah dalam setiap hening tanpa kata
menatap selaksa kunang-kunang yang beterbangan
kala malam menyepi di sudut pusara
ada aksara yang tak tertulis
tentang pena yang ingin menulis
pada kusam kertas yang tergeletak
kala tangan bergetar menahan resah
dan
ketika malam berbicara pada langit
tentang puisi yang mendayu di altar berbatu
pun ketika dingin berkedip pada dedaunan
yang terhantar pada hembusan sang bayu
memakna kata dalam hening
membisu di wajah-wajah lelah
tentang taqdir dalam buaian rasa
jua tentang puisi yang tak pernah sempurna
dan kalam-kalam lahir di bibir senja
ketika jemari menari di atas hamparan pasir
mengukir penat dengan aksara
walau tak pernah sempurna
pun kala rasa menjadi ujung pelangi
hamparkan sedu sedan pada rintik gerimis
mengalunkan tembang-tembang parau
nyanyikan puisi di ujung-ujung waktu
Chang sayangku, maafkan
aku yang harus meninggalkanmu, meninggalkan semua yang terjadi dalam kehidupan
kita berdua, sungguh aku tidak pernah membencimu, membenci keluargamu, aku hanya
membenci kenyataan yang harus memisahkan kita, memisahkan cinta kita. Maafkan
aku, maafkan aku.
Wo Ai Ni …
Chang cintaku, perjalanan
ini akan membawa namamu, wajahmu dan dirimu seutuhnya dalam setiap langkah dan
ingatanku tentangmu, tentang cinta yang terbatasi oleh harta, pendidikan, ras
dan agama.
Maafkan atas keputusan
sepihakku yang meninggalkanmu, aku tahu chang, semua yang kulakukan ini, tak
adil bagimu, tak adil, begitupun juga tak adil bagi ibu dan adikku, namun semua
harus kulakukan untuk kebahagiaanmu, kebahagiaan bagi satu-satunya perempuan
yang kucintai di muka bumi ini, hingga akhir hayatku.
Mungkin, jika Tuhan
berkehendak, sewaktu-waktu aku dan kenyataan yang kuhadapi akan ada kembali di
sini, di kampung halamanku, tempat aku dilahirkan, tempat dimana aku menemukan
cintaku terhadapmu, cinta yang tak akan pernah berakhir, tapi entah kapan semua
itu akan terjadi.
Chang, aku pergi… bukan
karena tidak mencintaimu, kepergianku karena kecintaanku yang begitu
besar terhadapmu, terlalu dalam terhadapmu, dan aku berharap izin dan
keikhlasanmu atas perjalanan panjang ini, panjang dan entah kapan berakhir.
dan di Hari yang indah
ini, aku hanya dapat mengucapkan Gong Xi Fat Choi
Salam cintaku selalu
Cinta yang selamanya akan
bertahta di hatiku
Cinta yang tak akan pernah
tergantikan oleh siapapun dan kapanpun
Aku yang mencintamu.
***********
0 komentar:
Posting Komentar